3 PENYIMPANGAN ETIKA ETIKA PROFESI AKUNTANSI
NELVIA J APONNO 4EB02TUGAS AKUNTANSI INTERNASIONAL
1. Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga
menyuap pajak.
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta &
Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti
menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat,
diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar
kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat
di bursa New York.
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang
susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun,
Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya.
Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka
rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange
Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang
anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja
Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon
ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun
terselamatan.
Sumber : http://keluarmaenmaen.blogspot.com/2010/11/beberapa-contoh-kasus-pelanggaran-etika.html 2. Penyelesaian Kasus Century Kembalikan Citra KPK (Kasus Bank Century)
JAKARTA:
Anggota Komisi III DPR Bambang Susatyo mengatakan penyelesaian kasus Bank
Century akan mengembalikan citra KPK di mata publik.
Berbicara dalam diskusi di kantor PP Muhammadiyah, Kamis (26/1) malam, Bambang menegaskan bola Century saat ini ada di KPK. Bukan di lembaga negara lain. Jika KPK serius mengembalikan citranya di mata publik, katanya, maka kasus Century harus diselesaikan.
Berbicara dalam diskusi di kantor PP Muhammadiyah, Kamis (26/1) malam, Bambang menegaskan bola Century saat ini ada di KPK. Bukan di lembaga negara lain. Jika KPK serius mengembalikan citranya di mata publik, katanya, maka kasus Century harus diselesaikan.
Saat
ini KPK tidak boleh lagi mencari alasan yang akan meringankan kasus Century,
karena kerugian negara yang ditanggung akibat aliran dana untuk talangan bank
yang kini bernama Bank Mutiara itu sudah sangat jelas.
“Ketika
bank sudah dirampok, kemudian diisi oleh pemerintah, kemudian dirampok lagi
oleh pemiliknya, urusan apa negara mengeluarkan uang untuk menalangi bank yang
bermasalah itu,” kata anggota Fraksi Partai Golongan Karya itu.
“Harusnya
KPK berpijak kepada fakta itu. Fakta yang ada menunjukkan pemerintah tidak
perlu memberikan “bail out” karena Bank Century tidak memenuhi persyaratan,”
tambahnya.
Sejumlah
dokumen kasus Bank Century telah diserahkan kepada KPK pada 12 Januari lalu.
Dokumen tersebut berupa surat dari mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, notulen
percakapan Sri Mulyani dengan Wakil Presiden Boediono sebelum pemberian
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek, dan catatan dari pakar-pakar terhadap kasus
pidana Bank Century.
Saat
penyerahan dokumen itu Ketua KPK Abraham Samad, mengatakan bahwa kasus Bank
Century tidak akan “dipetieskan”.
“Kita
menguji keberanian KPK. Kita menagih janji Abraham, untuk segera meningkatkan
status kasus Bank Century ini dari penyelidikan menjadi penyidikan,” kata
Bambang yang juga merupakan anggota Tim Pengawas Kasus Bank Century itu.
(ant/nj)
Analisis: Seperti kita tahu tentang
kasus bank century yang tak kunjung usai, kini KPK telah semaksimal mungkin
untuk menuntaskan kasus ini. Karena sesuai dengan profesi etika akuntansi KPK
harus bisa menuntaskan status bank century menjadi penyidikan. Jangan hanya
mengumpulkan tersangka yang terlibat namun harus bisa terbukti bahwa kasus ini
harus segera dituntaskan. Mengingat begitu banyaknya kasus-kasus yang ada di
negri kita ini semakin banyak kasus yang timbul. Jadi mari kepada
lembaga-lembaga parlemen yang menjadi tugas dalam bidang-bidang tertentu harus
bisa menuntaskan sesuai dengan profesi etika dengan jalur hukum yang telah ada.
Sumber: http://www.kabar24.com
3. Kredit Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik
Diduga Terlibat
Selasa, 18 Mei 2010 | 21:37 WIB
KOMPAS/ LUCKY PRANSISKA
JAMBI, KOMPAS.com – Seorang akuntan publik yang membuat laporan
keuangan perusahaan Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52
miliar dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam
kredit macet. Hal ini terungkap setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus
dugaan korupsi tersebut pada kredit macet untuk pengembangan usaha di bidang
otomotif tersebut.
Fitri Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI
yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya
diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada
dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus
ini.
Hasil pemeriksaan dan konfrontir keterangan tersangka dengan saksi
Biasa Sitepu terungkap ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden
Motor dalam mengajukan pinjaman ke BRI.
Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam
laporan tersebut oleh akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam
proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya.
“Ada empat kegiatan laporan keuangan milik Raden Motor yang tidak
masuk dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI, sehingga menjadi temuan dan
kejanggalan pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet tersebut,”
tegas Fitri.
Keterangan dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi
Syam diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai
akuntan publik dalam kasus tersebut di Kejati Jambi. Semestinya data laporan
keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam
laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden
Motor ada data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak lengkap oleh
akuntan publik.
Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak
penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan
adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet
senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya. Sementara itu pihak
penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum mau memberikan komentar
banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam dengan
saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik tersebut.
Kasus kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu
terungkap setelah kejaksaan mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit
yang diajukan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor. Dalam kasus
ini pihak Kejati Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein
Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka
Effedi Syam dari BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan
kredit.
Pembahasan Diskusi :
Dalam berita ini, akuntan publik (Biasa Sitepu) diduga kuat
terlibat dalam kasus korupsi dalam kredit macet untuk pengembangan usaha
Perusahaan Raden Motor. Keterlibatan itu karena Biasa Sitepu tidak membuat
empat kegiatan data laporan keuangan milik Raden Motor yang seharusnya ada
dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI sebagai pihak pemberi pinjaman.
Empat kegiatan data laporan keuangan tersebut tidak disebutkan apa saja akan
tetapi hal itu telah membuat adanya kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan
tersebut. Sehingga dalam hal ini terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan
ditemukan dugaan korupsi.
Jika dugaan keterlibatan akuntan publik di atas benar, maka sebagai
seorang akuntan publik, Biasa Sitepu seharusnya menjalankan tugas dengan
berdasar pada etika profesi yang ada. Ada lima aturan etika yang telah
ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP).
Lima aturan etika itu adalah :
1. Independensi, integritas, dan obyektivitas
2. Standar umum dan prinsip akuntansi
3. Tanggung jawab kepada klien
4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
5. Tanggung jawab dan praktik lain
Aturan-aturan etika ini harus diterapkan oleh anggota IAI-KAP dan
staf professional (baik yang anggota IAI-KAP maupun yang bukan anggota IAI-KAP)
yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP).
Biasa Sitepu dalam menjalankan tugasnya harus mempertahankan
integritas dan obyektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of
interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material
misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak
lain.
SUMBER
KOMPAS
4. Kasus Dugaan Korupsi Simulator SIM
JAKARTA,
KOMPAS.com — Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat
tersangka Inspektur
Jenderal Djoko Susilo dengan tindak pidana
pencucian uang (TPPU) diapresiasi. Langkah itu dinilai efektif untuk
mengembalikan harta negara.
"Sejatinya,
pengusutan kasus-kasus korupsi memang harus ditujukan untuk mengembalikan
kerugian negara yang disebabkan tindakan korupsi selain memberikan sanksi
pidana bagi yang melakukan," kata anggota Komisi III DPR, Ahmad Basarah,
di Jakarta, Selasa (15/1/2013 ).
Sebelumnya,
selain dijerat dugaan korupsi terkait proyek pengadaan simulator ujian surat
izin mengemudi (SIM) saat masih menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko
juga dijerat TPPU.
Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur
soal pidana tambahan berupa penggantian uang kerugian negara. Perampasan barang
bergerak atau tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi oleh seorang terdakwa.
Basarah
mengatakan, Djoko tak perlu gusar atas penetapan pasal baru itu jika merasa
hartanya sah secara hukum. Sebagai penegak hukum, kata politisi PDI-P itu,
Djoko tentu tahu betul cara melindungi hartanya yang memang menjadi haknya.
"Djoko juga
berhak mendapat keadilan atas hartanya yang dia peroleh secara sah, baik dalam
kapasitasnya sebagai perwira tinggi Polri maupun kegiatan usaha lain yang sah.
Jadi, biarkanlah proses hukum yang sudah dijalankan KPK berjalan sesuai
koridornya," kata dia.
Basarah
menambahkan, terkait penggunaan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, KPK harus
belajar dari proses hukum terdakwa Angelina Sondakh alias Angie. Dalam vonis
Angie, majelis hakim Pengadilan Tipikor tak sependapat dengan jaksa KPK terkait
penggunaan pasal tersebut.
"Putusan
itu (Angie) dapat dijadikan pelajaran bagi KPK untuk mengubah strategi
penuntutannya dalam kasus Djoko agar tidak mengulangi kegagalannya pada tingkat
pertama itu," kata Basarah.
Seperti
diberitakan, Djoko diduga menyembunyikan, menyamarkan, mengubah bentuk hartanya
yang ditengarai berasal dari. Dalam kasus simulator SIM, Djoko
diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk
menguntungkan diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan keuangan negara.
Kerugian negara
yang muncul dalam kasus ini mencapai Rp 100 miliar. Selain itu, Djoko juga
diduga menerima aliran dana Rp 2 miliar dari pihak rekanan proyek simulator
SIM. Pihak Djoko membantah semua sangkaan itu.
Analisis: Dari kasus diatas telah
melanggar kode etik publik. Karena telah menyembunyikan, menyamarkan, mengubah
bentuk hartanya yang ditengarai berasal dari. Dalam kasus simulator SIM, Djoko
diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk
menguntungkan diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan keuangan negara. Jelas
telah menyalah gunakan harta negara dan membohongi publik karena ulah yang
diperbuat sendiri.
Sumber: kompas.com
5. KASUS BANK LIPPO
Beberapa
kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya
adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus Lippo
bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh
Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda.
Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau
diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke
BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan
publik, dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan
Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen
Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan
tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar
tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari 2003.
Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang
diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun,
rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk
laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat
kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan
tersebut belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan
adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun,
laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu
BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo
Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini
wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang
dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda
sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan
publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan
penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama
35 hari. Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa
tahun terakhir telah mengalami krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas
perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika. Jones, et al. (2003)
lebih memilih pendekatan individu terhadap kepedulian etika yang berbeda
dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan pada Sarbanes Oxley
Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap etika harus
diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi
masuk di dunia profesi akuntansi. Dari kedua kasus di atas, dapat kita
tarik kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup
pelik di mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan
independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan hasil audit ke
masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka dipekerjakan dan
dibayar oleh perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri.
No comments:
Post a Comment