Friday, May 10, 2013

AKUNTANSI INTERNASIOANL :PENYIMPANGAN PROFESI AKUNTANSI





PENYIMPANGAN ETIKA ETIKA PROFESI AKUNTANSI
NELVIA J APONNO 4EB02
TUGAS AKUNTANSI INTERNASIONAL
 1. Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga menyuap pajak.
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.
Sumber : http://keluarmaenmaen.blogspot.com/2010/11/beberapa-contoh-kasus-pelanggaran-etika.html 
  
2. Penyelesaian Kasus Century Kembalikan Citra KPK (Kasus Bank Century)
JAKARTA: Anggota Komisi III DPR Bambang Susatyo mengatakan penyelesaian kasus Bank Century akan mengembalikan citra KPK di mata publik.
Berbicara dalam diskusi di kantor PP Muhammadiyah, Kamis (26/1) malam, Bambang menegaskan bola Century saat ini ada di KPK. Bukan di lembaga negara lain. Jika KPK serius mengembalikan citranya di mata publik, katanya, maka kasus Century harus diselesaikan.
Saat ini KPK tidak boleh lagi mencari alasan yang akan meringankan kasus Century, karena kerugian negara yang ditanggung akibat aliran dana untuk talangan bank yang kini bernama Bank Mutiara itu sudah sangat jelas.
“Ketika bank sudah dirampok, kemudian diisi oleh pemerintah, kemudian dirampok lagi oleh pemiliknya, urusan apa negara mengeluarkan uang untuk menalangi bank yang bermasalah itu,” kata anggota Fraksi Partai Golongan Karya itu.
“Harusnya KPK berpijak kepada fakta itu. Fakta yang ada menunjukkan pemerintah tidak perlu memberikan “bail out” karena Bank Century tidak memenuhi persyaratan,” tambahnya.
Sejumlah dokumen kasus Bank Century telah diserahkan kepada KPK pada 12 Januari lalu. Dokumen tersebut berupa surat dari mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, notulen percakapan Sri Mulyani dengan Wakil Presiden Boediono sebelum pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek, dan catatan dari pakar-pakar terhadap kasus pidana Bank Century.
Saat penyerahan dokumen itu Ketua KPK Abraham Samad, mengatakan bahwa kasus Bank Century tidak akan “dipetieskan”.
“Kita menguji keberanian KPK. Kita menagih janji Abraham, untuk segera meningkatkan status kasus Bank Century ini dari penyelidikan menjadi penyidikan,” kata Bambang yang juga merupakan anggota Tim Pengawas Kasus Bank Century itu. (ant/nj)
Analisis: Seperti kita tahu tentang kasus bank century yang tak kunjung usai, kini KPK telah semaksimal mungkin untuk menuntaskan kasus ini. Karena sesuai dengan profesi etika akuntansi KPK harus bisa menuntaskan status bank century menjadi penyidikan. Jangan hanya mengumpulkan tersangka yang terlibat namun harus bisa terbukti bahwa kasus ini harus segera dituntaskan. Mengingat begitu banyaknya kasus-kasus yang ada di negri kita ini semakin banyak kasus yang timbul. Jadi mari kepada lembaga-lembaga parlemen yang menjadi tugas dalam bidang-bidang tertentu harus bisa menuntaskan sesuai dengan profesi etika dengan jalur hukum yang telah ada.


3. Kredit Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat
Selasa, 18 Mei 2010 | 21:37 WIB
KOMPAS/ LUCKY PRANSISKA

JAMBI, KOMPAS.com – Seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit macet. Hal ini terungkap setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut pada kredit macet untuk pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut.

Fitri Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini.

Hasil pemeriksaan dan konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan pinjaman ke BRI.

Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam laporan tersebut oleh akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya.

“Ada empat kegiatan laporan keuangan milik Raden Motor yang tidak masuk dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI, sehingga menjadi temuan dan kejanggalan pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet tersebut,” tegas Fitri.

Keterangan dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus tersebut di Kejati Jambi. Semestinya data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor ada data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak lengkap oleh akuntan publik.

Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya. Sementara itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum mau memberikan komentar banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik tersebut.

Kasus kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah kejaksaan mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor. Dalam kasus ini pihak Kejati Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit.

Pembahasan Diskusi :
Dalam berita ini, akuntan publik (Biasa Sitepu) diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi dalam kredit macet untuk pengembangan usaha Perusahaan Raden Motor. Keterlibatan itu karena Biasa Sitepu tidak membuat empat kegiatan data laporan keuangan milik Raden Motor yang seharusnya ada dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI sebagai pihak pemberi pinjaman. Empat kegiatan data laporan keuangan tersebut tidak disebutkan apa saja akan tetapi hal itu telah membuat adanya kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan tersebut. Sehingga dalam hal ini terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsi.

Jika dugaan keterlibatan akuntan publik di atas benar, maka sebagai seorang akuntan publik, Biasa Sitepu seharusnya menjalankan tugas dengan berdasar pada etika profesi yang ada. Ada lima aturan etika yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Lima aturan etika itu adalah :
1. Independensi, integritas, dan obyektivitas
2. Standar umum dan prinsip akuntansi
3. Tanggung jawab kepada klien
4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
5. Tanggung jawab dan praktik lain

Aturan-aturan etika ini harus diterapkan oleh anggota IAI-KAP dan staf professional (baik yang anggota IAI-KAP maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP).

Biasa Sitepu dalam menjalankan tugasnya harus mempertahankan integritas dan obyektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain.
SUMBER KOMPAS

4.    Kasus Dugaan Korupsi Simulator SIM

JAKARTA, KOMPAS.com — Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) diapresiasi. Langkah itu dinilai efektif untuk mengembalikan harta negara.
"Sejatinya, pengusutan kasus-kasus korupsi memang harus ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkan tindakan korupsi selain memberikan sanksi pidana bagi yang melakukan," kata anggota Komisi III DPR, Ahmad Basarah, di Jakarta, Selasa (15/1/2013 ).
Sebelumnya, selain dijerat dugaan korupsi terkait proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) saat masih menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko juga dijerat TPPU.
Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur soal pidana tambahan berupa penggantian uang kerugian negara. Perampasan barang bergerak atau tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh seorang terdakwa.
Basarah mengatakan, Djoko tak perlu gusar atas penetapan pasal baru itu jika merasa hartanya sah secara hukum. Sebagai penegak hukum, kata politisi PDI-P itu, Djoko tentu tahu betul cara melindungi hartanya yang memang menjadi haknya.
"Djoko juga berhak mendapat keadilan atas hartanya yang dia peroleh secara sah, baik dalam kapasitasnya sebagai perwira tinggi Polri maupun kegiatan usaha lain yang sah. Jadi, biarkanlah proses hukum yang sudah dijalankan KPK berjalan sesuai koridornya," kata dia.
Basarah menambahkan, terkait penggunaan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, KPK harus belajar dari proses hukum terdakwa Angelina Sondakh alias Angie. Dalam vonis Angie, majelis hakim Pengadilan Tipikor tak sependapat dengan jaksa KPK terkait penggunaan pasal tersebut.
"Putusan itu (Angie) dapat dijadikan pelajaran bagi KPK untuk mengubah strategi penuntutannya dalam kasus Djoko agar tidak mengulangi kegagalannya pada tingkat pertama itu," kata Basarah.
Seperti diberitakan, Djoko diduga menyembunyikan, menyamarkan, mengubah bentuk hartanya yang ditengarai berasal dari. Dalam kasus simulator SIM, Djoko diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan keuangan negara.
Kerugian negara yang muncul dalam kasus ini mencapai Rp 100 miliar. Selain itu, Djoko juga diduga menerima aliran dana Rp 2 miliar dari pihak rekanan proyek simulator SIM. Pihak Djoko membantah semua sangkaan itu.
Analisis: Dari kasus diatas telah melanggar kode etik publik. Karena telah menyembunyikan, menyamarkan, mengubah bentuk hartanya yang ditengarai berasal dari. Dalam kasus simulator SIM, Djoko diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain sehingga merugikan keuangan negara. Jelas telah menyalah gunakan harta negara dan membohongi publik karena ulah yang diperbuat sendiri.
Sumber: kompas.com
 5. KASUS BANK LIPPO
 Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika. Jones, et al. (2003) lebih memilih pendekatan individu terhadap kepedulian etika yang berbeda dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan pada Sarbanes Oxley Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi akuntansi. Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri.
 

No comments:

Post a Comment